Wednesday, November 10, 2004

Dan terik pun kan berlalu

Hari ini Jakarta mendung. Tumben-tumbennya padahal matahari selalu sombong bersinar. Kota ini memang aneh, lha bapak dikampung sudah cerita berkali-kali kalau di sana hujan sudah turun dengan deras. Kenapa di sini langit selalu terik dan tiada bulir-bulir hujan yang berserak. Kipas angin yang kubeli diloakan keliling tidak mampu mengurangi rasa gerah yang menjalar, belum lagi kalau mendengar suara berderit yang meyayat telinga. Gerah, gerah, mbok ya Tuhan ini adil dengan hambanya gerutuku dalam hati.

Hari ini aku sempatkan main ke kost Mbak Yu-ku. Tempatnya tidak jauh dari sini, hanya sekali naik metromini dan sekali naik bis gede, nanti turun di gang tembok, disamping hotel bertingkat yang tinggi sekali.
"Awas hati-hati sama copet, jangan lupa bawa plastik barangkali kamu muntah",
Mbak Yu-ku mengingatkan. Heran kenapa dia selalu menasehati akan hal-hal kecil seperti itu.

Ranitidin dan Antisada generik yang diberinya minggu lalu masih saja kubawa.
"Ini mbak ambil di puskesmas, gratis kok, eh sebenarnya kalo harus mbayar
itu cuman 4000 rupiah"
"terus minumnya gimana?"
"Pokonya jangan dicampur, tiap kali minum satu jenis obat aja. Itu efeknya saling menghilangkan"

Mbak yu ku sibuk sekali tahun ini, senin sampai jumat dia koas di rumah sakit, sabtu minggu masih harus njaga klinik.
"Lha lumayan eh dhe. 10 jam njaga dapet 75.000 rupiah"
"hiya lumayan, mending dari pada honor jaga warnet"
"itu cuman untuk 10 pasien pertama, kalau lebih dari 10, tiap pasien
dihargai 10.000 rupiah. Mbak pingin nabung"
Mbak pernah cerita, kliniknya itu di dekat terminal besar di Jakarta. Lumayan jauh dari kostnya, dan lumayan letih, tapi mending katanya dari pada di rumah sakit, liat pasien kecelakaan, penyakit aneh-aneh, malah mbikin dia mual.

"Aku bingung dengan rencana untuk tahun depan dhe. Pengennya ambil specialist, tapi mahal sekali. Bapak dirumah pasti tidak akan setuju. Lagian moso mbak terus-terusan sekolah ngabisin uang"
Mbak yu membuka pembicaraan diruang tamu kostnya. Rencananya lainnya dia pingin langsung PTT, moga-moga bisa dapat yang deket sama rumah di kampung, selanjutnya daftar pegawai negeri, jadi dokter beneran di rumah sakit.

Wealah jadi dokter aja kok susah sekali, sudah kuliahnya lama, bekerjanya juga tidak pasti. Mana ada sih orang yang mau pergi kedaerah, penghasilan kecil, gumamku dalam hati. Mbak ni memang aneh. Dia sering bingung, mungkin sama juga seperti aku yang sering gundah menghadapi persoalan hidup ini.

"Ke Singtete saja, itu di perbatasan Malaysia, disana air sulit, kamu harus kesungai dan bisa-bisa disamber buaya kamu".
Ah singtete atau Sing Tete atau ...ah dimanakah itu, negeri ini luas sekali haruskah mbak yu ku pergi kesana.

"Ibu gimana?"
"Apanya yang gimana?"
"Katanya kena kanker rahim.."
"...mmmm engga kok, dia cuman kena mioma. Mioma itu tumor jinak. untungnya yang tidak bertangkai..."
"Lha terus gimana?"
"Ya ditunggu aja, paling sekarang rajin minum kunir putih. Dulu beli di Jogja khan. Mungkin cocok."
Aneh...mbak yu ku semakin aneh, ibuku juga aneh. Lama sekali dia tidak pernah menjengukku waktu kuliah. Tiba-tiba dia datang, bilang kena tumor rahim. Sudah cuman datang sehari, ndak nginap, trus pergi begitu saja.
"Tiketnya jangan sampai lupa. Nanti kamu pulang duluan khan. Mbak pulang sorenya, nanti setelah berbenah di klinik. Hati-hati ya"
Mbaku setengah berteriak dari balik jendela kostnya mengingatkanku. Aku menoleh sebentar sambil mengangguk-angguk, meninggalkan kostnya..

Kenapa hari ini cepat sekali berlalu. Bayangan mbak yu yang kukagumi dan ibu yang sedang sakit itu juga berlalu meninggalkanku. Nampaknya hujan akan segera turun dan terik akan berlalu
---
senja di ramadhan ke duapuluh dua.

No comments: